Skip to main content

Islamisme dan Politisasi Agama: Tantangan Politik Indonesia Menuju 2024

Di beberapa minggu terakhir bulan Mei 2023, warganet di Indonesia dihebohkan dengan "war tiket" konser band terkenal asal London, Inggris, yaitu Coldplay. Band ini, yang telah berdiri sejak tahun 1997, mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan muda di Indonesia. Tiket konser yang disediakan oleh promotor terjual habis dalam waktu singkat, meskipun konsernya akan digelar enam bulan lagi pada tanggal 15 November 2023 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.



Tren kegilaan terhadap band Coldplay memang wajar terjadi. Selain ini merupakan kali pertama mereka menggelar tur konser di Indonesia, Coldplay juga merupakan salah satu band limestone rock yang sukses menjual 100 juta album. Namun, euforia menyambut konser musik spektakuler ini tiba-tiba sirna ketika muncul penolakan dari beberapa kelompok keagamaan di Indonesia.


Penolakan tersebut berasal dari kelompok Persaudaraan Alumni (PA) 212. Isu yang mereka angkat adalah klaim bahwa band tersebut terkait erat dengan LGBT dan ateisme. Bahkan, kelompok PA 212 mengancam akan mengepung bandara jika konser tetap digelar. Tak lama kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengikuti hal serupa. Pertanyaannya adalah, atas dasar apa mereka melakukan penolakan ini? Apakah ada bukti yang valid bahwa band tersebut terlibat dalam LGBT atau ateisme, misalnya?


Islamisme dan politisasi agama telah menjadi tema yang muncul sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Dalam ranah publik digital, pertempuran wacana pada saat itu mengalami peningkatan yang signifikan. Kampanye yang sebelumnya bersifat konvensional berubah menjadi kampanye digital. Baik kubu Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta menggunakan black campaign dengan menggunakan politik identitas berbau SARA, hoaks, dan hate speech secara terstruktur dan massif. Masing-masing kubu menggunakan simbol-simbol agama untuk mencari simpati, legitimasi, dan delegitimasi lawan politik mereka. Dari situlah muncul istilah "cebong", "kampret", "BuzzerRp", dan "kadrun."


Berdasarkan catatan dari situs DroneEmprit pada 17 Juli 2022, fluktuasi penggunaan istilah-istilah tersebut dalam cuitan di Twitter sejak 1 Juli 2015 hingga 16 April 2022 dapat terlihat. Istilah pertama yang muncul adalah "cebong", kemudian "kampret", "kadrun", "buzzer", dan "buzzerRp". Puncak penggunaan istilah "cebong" dan "kampret" terjadi pada bulan April 2019, saat Pilpres 2019. Setelah Pilpres 2019, penggunaan kedua istilah tersebut menurun drastis. Namun, muncul istil


ah baru, yaitu "kadrun" pada akhir 2019, yang kemudian diikuti dengan istilah "buzzer" dan variasinya "buzzerRp".


Sebelum Pilpres 2019, publik dihebohkan dengan kasus "penistaan agama" yang menimpa Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ia terjerat dalam video pidato saat kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, yang dipotong dan di-framing dengan narasi "penistaan Surat Al-Maidah ayat 51". Padahal, pidato Ahok yang berdurasi 40 menit sebenarnya berbicara tentang "jangan mau dibohongi (politisi) yang menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51 untuk menjatuhkan lawan politiknya yang non-Muslim."


Namun, karena video potongan tersebut menjadi viral dengan narasi yang berbau SARA, hal itu memicu gerakan Aksi 411 dan 212 pada tahun 2016 yang menuntut Ahok dipenjarakan karena dianggap telah menista agama Islam. Gerakan yang dipimpin oleh Front Pembela Islam (FPI) akhirnya berhasil memenjarakan Ahok dengan vonis 2 tahun pada bulan Mei 2017. Sebagai calon gubernur petahana, Ahok kalah dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 karena isu SARA.


Masyarakat kita tampaknya telah memasuki era "pasca-kebenaran" (post-truth). Mereka lebih mengutamakan asumsi, emosi, dan syak wasangka daripada logika dan fakta. Fenomena ini hampir sama dengan gambaran Baudrillard bahwa kita berada dalam era informasi yang melimpah namun kekurangan makna yang mendalam.


Dalam konteks ini, kelompok PA 212 dan MUI muncul dan terus berkembang. Jika diamati, penetrasi kepentingan politik kelompok ini mungkin tidak seintens pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Namun, politisasi agama yang dilakukan dengan massif pada waktu itu meninggalkan sentimen identitas yang masih ada hingga sekarang. Islamisme semakin menguat, dan ruang publik digital semakin mengalami apa yang disebut oleh filsuf Habermas sebagai refeodalisasi, yaitu pengaruh syahwat kekuasaan terhadap ruang publik.


Penolakan terhadap konser besar Coldplay hanya merupakan contoh kecil dari bagaimana Islamisme semakin menguat di Indonesia. Isu LGBT atau ateisme sebenarnya bukan hal baru. Hal ini mirip dengan isu PKI yang selalu hangat, terutama di bulan September setiap tahun, terutama dalam konteks tahun politik. Namun, poin pentingnya bukan itu. Menjelang tahun politik 2024, dengan beberapa partai politik sudah mengumumkan calon presidennya, arah politik Indonesia akan ke mana? Apakah akan sama seperti Pilpres sebelumnya yang mengoyak demokrasi dengan isu SARA, ataukah akan lebih santun dan jelas arahnya?


Ancaman dari PA 212 dan MUI bisa menjadi isyarat untuk menjawab pertanyaan tersebut


. Meskipun eskalasi suhu politik saat ini tidak sepanas pada tahun 2019 atau 2014, bukan berarti bahwa jika aktor politik elit sama, maka nuansanya akan jauh berbeda. Ini sejalan dengan laporan LP3ES tentang bahayanya lingkaran oligarki politik di Indonesia.


Dalam diskusi "Dinamika Politik Menuju 2024: Apa Kata Big Data?" pada tanggal 5 Februari 2023, LP3ES bekerja sama dengan Continuum menyatakan bahwa Indonesia menghadapi situasi yang berbahaya ke depannya. Hal ini disebabkan oleh tiga poros kekuatan politik: negara atau oligarki yang telah bersatu dengan partai politik, dan masyarakat yang terpecah-belah. Oleh karena itu, langkah konkret diperlukan agar demokrasi Indonesia tidak jatuh ke jurang.


Politisasi agama yang dilakukan dengan massif akhirnya meninggalkan sentimen identitas yang masih ada hingga saat ini. Islamisme semakin menguat, dan ruang publik digital semakin mengalami apa yang oleh filsuf Habermas disebut sebagai refeodalisasi, yaitu pengaruh kepentingan syahwat kekuasaan terhadap ruang publik.


Tentang bukti bahwa band Coldplay terkait dengan LGBT, tidak ada data konkret yang bisa diungkapkan kecuali bahwa dalam beberapa penampilan panggung, vokalis Coldplay, Chris Martin, seringkali membawa bendera berwarna-warni. Namun, lirik-lirik lagu mereka tidak mendukung komunitas LGBT atau ateisme.


Sebagai seniman dan musisi terkenal, band ini mungkin merasa berhak untuk berbicara dan membela hak-hak minoritas. Perlu dicatat bahwa yang mereka bela adalah hak asasi manusia, bukan orientasi seksual atau hal lainnya. Tidak ada klarifikasi yang jelas dari mereka mengenai dukungan terhadap aktivitas LGBT.


Selain itu, band ini juga memiliki catatan di dunia maya yang mendukung kemerdekaan Palestina dan "mengutuk" Israel. Namun, landasannya bukan hanya dalam konteks agama, tetapi lebih mendasarkan pada keprihatinan kemanusiaan dan hak atas kemerdekaan. []



Comments

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.