Skip to main content

Menjelajahi Desa Jajar, Trenggalek: Sejarah, Potensi, dan Kearifan Lokal

 Desa Jajar terletak di daerah yang dikelilingi oleh pegunungan, sawah yang luas dan memiliki sumber air yang melimpah. Desa ini memiliki 3 dusun, yaitu Krajan, Kebon dan Mbelik, tetapi masyarakat masih mempertahankan tradisi menyebut diri mereka dengan nama pedukuhan (dukuh). Ada 11 pedukuhan di Desa Jajar seperti Trobasan, Karang, Kebon, Nglumpang, Tretes, Ngasinan, Ngelo, Krajan, Ngepoh, Klatak dan Mbelik. Masyarakat setempat masih menggunakan nama pedukuhan sebagai identitas mereka. Meskipun tidak termasuk wilayah administratif desa, namun kedudukan pedukuhan tetap dianggap bagian dari Desa Jajar.


Cerita Tutur Sejarah Desa


Ada beberapa cerita tentang sejarah berdirinya Desa Jajar. Cerita pertama adalah tentang Punden Sarean, sebuah sumber air yang ditemukan oleh seorang pelancong. Konon katanya, tempat tersebut dinamakan "sarean" karena pelancong tersebut beristirahat di sana. Saat ini, sumber air ini masih digunakan oleh masyarakat Desa Jajar.



Cerita lainnya berhubungan dengan dua tokoh, yaitu Mbah Ngabdurrohman dan Mbah Joyogati, yang mengembara dari Tembayat ke arah timur dan berhenti di Trenggalek. Di sana, mereka menemukan Pohon Lo yang berjajar dan memutuskan untuk mendirikan Desa Jajar. Walaupun pohon itu sudah tidak ada, tetapi terdapat sebuah pedukuhan di Desa Jajar bernama "Ngelo" yang mungkin berasal dari nama pohon tersebut.


Versi lainnya mengisahkan tentang adanya kuburan tua di tengah sawah yang diyakini sebagai kuburan dari Mbah Sarito atau Mbah Sari. Dia adalah pasukan Diponegoro yang melarikan diri ke arah timur setelah Perang Jawa. Jika cerita ini benar, keberadaan Mbah Sari di Desa Jajar diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-19.


Potensi Alam dan Masyarakat Mandiri

Desa Jajar memiliki kekayaan alam yang luar biasa seperti sawah yang luas, perbukitan yang tinggi, dan sumber air yang mengalir deras. Salah satu sumber air yang penting bagi masyarakat Jajar adalah Sarehan. Air dari sumber ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Masyarakat Jajar hidup bergantung pada alam. Mereka bertani dan bercocok tanam dengan menanam padi, jagung, pala kependhem, dan pala gumandul. Mereka juga beternak sapi dan kambing dan memberi mereka makan dengan rumput dan daun. Hasil-hasil alam ini diolah menjadi berbagai produk seperti sale pisang, kripik pisang, dan reyeng, sesek, dan betek dari bambu.


Masyarakat Jajar telah menunjukkan bagaimana mereka dapat mengolah dan memanfaatkan alam sesuai dengan kebutuhan mereka. Mereka juga menciptakan makanan tradisional khas Desa Jajar, yaitu cukdeh atau “Pincuk Lodeh” yang terbuat dari lontong dan sayur lodeh yang dibungkus dengan daun pisang dan daun jati.


Jika masyarakat Jajar semakin intensif dalam berinteraksi dengan alam, maka mereka akan menjadi mandiri dan mampu menghasilkan kebutuhan hidup mereka sendiri dari kekayaan alam yang ada. Namun, kita harus selalu merawat alam dan tidak mengeksploitasi sumber daya alam sehingga bisa dipakai untuk kehidupan di masa yang akan datang.


Kearifan Lokal


Desa Jajar masih sangat menjaga dan mempertahankan budayanya yang kaya warisan dari para leluhurnya. Salah satu budaya yang masih lestari di Desa Jajar adalah Tiban, yaitu tradisi memanggil hujan dengan menggelar pertandingan cambuk. Cambuk yang digunakan terbuat dari lidi aren yang dirangkai menjadi satu atau ujung. Tiban biasanya dilakukan saat musim kemarau. Menurut cerita rakyat, semakin banyak cambuk yang digunakan, semakin deras hujannya. Namun, saat ini Tiban lebih dianggap sebagai hiburan daripada cara untuk memanggil hujan.


Selain itu, di Desa Jajar juga ada Megengan Show yang digelar setiap menjelang bulan suci Ramadhan. Pagelaran ini diciptakan karena masyarakat Jajar khawatir akan hilangnya seni dan budaya mereka akibat globalisasi. Megengan Show menampilkan pertunjukan seni dan budaya yang dikemas dengan indah. Pagelaran ini juga menjadi sumber kegembiraan dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Sejalan dengan hadis yang berbunyi, "Barang siapa yang bergembira menyambut bulan Ramadhan, maka Allah akan mengampuni kesalahan dan dosanya". Oleh karena itu, Megengan Show adalah bentuk akulturasi nilai-nilai Islam dan Jawa.


Selain itu, di Desa Jajar juga ada jamasan atau mandi jamas. Ritual ini dilakukan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan untuk membersihkan jasmani dan rohani. Tujuannya adalah untuk menghilangkan dosa dan kesalahan yang dilakukan. Jika manusia tidak menjalankan laku menjamas diri, seperti pusaka yang hilang keramatnya, maka manusia akan kehilangan kebersihan jasmani dan rohaninya.


Terdapat juga selawat ikonik di Bulan Ramadhan yang disebut salalahuk. Salalahuk dilantunkan setelah salat tarawih dengan diiringi pukulan bedug. Salalahuk merupakan kata serapan dari bahasa Arab, “shallallahu” yang diucapkan dalam bahasa Jawa. Isinya tentang ajaran agama yang dikemas dalam bentuk lagu dengan bahasa Arab dan Jawa. Selawat ini juga memuji Nabi Muhammad SAW dan mendoakan keselamatan bagi umat manusia.


Salalahuk telah ada sejak lama di Desa Jajar, tetapi tidak ada yang tahu persis kapan diajarkan. Para pelantun salalahuk yang sudah berusia sepuh mengatakan bahwa selawat ini sudah ada sejak mereka masih kecil. Ada juga yang mengatakan bahwa salalahuk adalah ajaran Walisanga. Dalam hal apapun, salalahuk merupakan warisan berharga dari para pendahulu yang berhasil menggabungkan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal mereka dengan kreativitas yang tinggi, tetapi tetap mempertahankan esensi nilai yang diajarkan.

Comments

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.