Skip to main content

Menerima Identitas Secara Bebas: Refleksi atas Konsep Identitas dalam Film 'Taqwacore

Saya suka menonton YouTube sebelum tidur. Saya biasanya menonton film, talk show, atau stand up comedy. Kadang-kadang saya hanya memutar musik suara hujan untuk membantu saya tidur.



Ketika saya ingin menonton film, saya menulis kata kunci apa saja yang saya inginkan seperti "film Indonesia" atau "film sub Indonesia" di pencarian YouTube. Kemudian, YouTube akan menunjukkan daftar film sesuai dengan kata kunci yang saya tulis. Pernah suatu saat pada tahun 2017, muncul satu film dengan judul "film bagus" di daftar tersebut, dan saya pun menontonnya.

Film tersebut berjudul "The Taqwacores" yang mengambil latar di Buffalo, New York, Amerika Serikat. Film ini menceritakan tentang sekelompok anak-anak punk yang kebanyakan adalah orang Muslim. Saya sangat tertarik dengan karakter Rabeya, seorang muslimah yang mengenakan burqa (pakaian yang menutup seluruh badan) dengan berbagai identitas punk. Rabeya sebenarnya memiliki pandangan yang sangat feminis dan liberal meskipun ia menggunakan burqa. Film ini kontroversial dan dianggap tabu bagi sebagian orang Muslim, namun bagi saya film ini mengajarkan toleransi dan persahabatan antara karakter yang berbeda-beda.

Dalam film tersebut, Michael Muhammad Knight, seorang mualaf yang juga menjadi bagian dari komunitas Punk Rock Muslim, menghadapi kesulitan diterima baik di kalangan muslim maupun non-muslim. Meskipun demikian, mereka tetap melaksanakan salat lima waktu selama tur musik mereka. Bagi seorang muslim yang menonton film ini, mungkin merasa dilema karena identitasnya sebagai muslim dan juga bagian dari komunitas Punk Rock.


Identitas sangat penting bagi manusia dan masyarakat kita terus mencari identitas yang absolut. Namun, sebenarnya kita memiliki berbagai identitas dalam diri kita seperti jenis kelamin, kewarganegaraan, dan golongan sosial. Namun, tidak semua identitas itu menjadi identitas absolut. Kita perlu merefleksikan diri dan menerima identitas secara bebas.


Filsuf Prancis, Gabriel Marcel, mengatakan bahwa objektivitas adalah lawan dari eksistensi. Eksistensi adalah situasi konkrit kita seperti jenis kelamin dan kewarganegaraan, namun itu bukan identitas sesungguhnya dari kita secara filosofis. Marcel menawarkan tiga fase penting untuk mencapai objektivitas yaitu admiration (kekaguman), reflexion (refleksi), dan exploration (eksplorasi). Dengan melakukan tiga fase tersebut, kita dapat menemukan identitas sesungguhnya.

Untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, menurut filosof Prancis Gabriel Marcel, kita perlu melakukan tiga fase penting. Fase pertama adalah kekaguman, yaitu membuka diri terhadap berbagai hal dalam hidup dengan rendah hati. Kita harus mau melihat, mendengar, dan menerima hal-hal baru dengan lapang dada. Kita tidak bisa menjadi manusia yang sesungguhnya jika kita sombong dan angkuh.


Namun, membuka diri saja tidak cukup. Kita juga perlu merefleksikan diri. Refleksi terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah refleksi intelektual yang abstrak, analitis, universal, dan dapat diverifikasi. Tahap kedua adalah refleksi dialogis dengan kehidupan nyata. Kita harus mempertemukan pikiran dan pengalaman hidup agar bisa memahami diri kita sendiri secara lebih baik.


Setelah melakukan dua tahap refleksi tersebut, kita akan sampai pada fase exploration. Pada fase ini, kita sudah bisa menerima realitas dengan bebas, termasuk menerima diri kita sendiri dengan segala identitas yang melekat pada diri kita. Menurut Marcel, fase exploration melampaui pikiran aktif kita.


Dari konsep filosofis Marcel tersebut, para Punk Rock Muslim dalam film yang disebutkan di atas sepertinya melakukan refleksi pada diri mereka. Mereka membuka diri terhadap dua identitas yang berbeda, yaitu sebagai seorang muslim dan sebagai penggemar musik Punk Rock. Dengan melakukan refleksi, mereka bisa menerima identitas mereka secara bebas dan menerima kedua identitas tersebut dengan bersamaan.

Comments

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.