Belakangan ini berita mengenai kesuksesan China menengahi perdamaian antara Saudi dan Iran menjadi perbincangan yang heboh. Sebelumnya, hubungan antara kedua negara ini selalu dipenuhi dengan perseteruan dan saling tuduh. Akar masalah perseteruan ini mungkin berasal dari masalah politik. Saudi dan Iran saling bersaing untuk menjadi pemimpin di kawasan Timur Tengah. Selain itu, perbedaan kebijakan mengenai pengelolaan minyak dan gas juga turut memperkeruh hubungan mereka.
Di Indonesia, bagi sebagian orang, perseteruan antara Saudi dan Iran dipandang sebagai konflik antara Sunni dan Syiah. Saudi mewakili Sunni dan Iran mewakili Syiah. Padahal, di kedua negara tersebut juga terdapat warga yang beragama Syiah dan Sunni yang hidup baik-baik saja. Perseteruan ini semakin diperkeruh setelah Revolusi Iran dan memburuknya hubungan antara kedua negara.
Walau sebelumnya ketidaksukaan pada Syiah sudah ada, tetapi semakin kental dan terasa setelah Revolusi Iran dan memburuknya hubungan antara Saudi dan Iran. Hal ini membuat konflik antara kedua negara ini semakin sempit cakupannya dan dipandang hanya sebagai konflik antara Sunni dan Syiah.
Ada banyak kompleksitas dalam hubungan antara Saudi dan Iran, serta China yang berperan sebagai mediator. Meskipun Saudi dipandang sebagai representasi Sunni dan Iran sebagai representasi Syiah, pemilahan ini sebenarnya cukup lentur dan tidak selalu mencerminkan realitas politik yang sebenarnya. Selain itu, isu Sunni vs Syiah hanyalah permukaan dan mungkin sengaja dibuat untuk menutupi konflik sebenarnya antara Saudi dan Iran. Sebelum Revolusi Iran, Saudi dan Iran bahkan merupakan teman, dan saat ini mereka sudah mulai merestorasi hubungan mereka. Sementara itu, China tidak hanya terbuka secara ekonomi, tetapi juga menghindari mengedepankan ideologi komunis dalam hubungannya dengan negara lain. Oleh karena itu, jika China menjadi ancaman, maka yang harus dilakukan adalah membangun kemandirian ekonomi dan menentang tindakan hegemonik, bukan membangun tembok ideologi.
Baru-baru ini, kita dikejutkan oleh kabar bahwa Saudi dan Iran berhasil mengakhiri perseteruan mereka yang panjang. Bahkan, mereka berjabat tangan menandai perdamaian. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah fakta bahwa mediator dalam perdamaian ini adalah China, bukan Amerika seperti biasanya. Ada beberapa hal yang bisa dipetik dari peristiwa ini.
Pertama, perdamaian selalu baik, meskipun ada kepentingan atau agenda di baliknya. Setiap negara pasti punya kepentingan ketika berinteraksi dengan negara lain. Indonesia pun sama, kita ingin dihormati di kawasan. Namun, yang tidak boleh dilakukan adalah menghancurkan kedaulatan negara lain dengan cara yang merugikan.
Kedua, meskipun China menjadi mediator, kita tidak tahu secara pasti apa yang terjadi di antara Saudi, China, dan Iran. Yang pasti, hubungan damai adalah kabar baik. Namun, tentu saja ada pihak yang merasa kehilangan pengaruh atau peran di kawasan ini.
Ketiga, meskipun Saudi dan Iran berdamai, masih ada beberapa masalah yang perlu dipecahkan. Pangeran Faisal bin Farhan bin Abdullah, Menteri Luar Negeri Saudi, menyatakan bahwa mereka masih harus berkomunikasi dan berdialog untuk menyelesaikan sisa-sisa perselisihan mereka secara damai dan diplomatis.
Comments
Post a Comment