Skip to main content

Kewargaan Ekologis dan Peran Masyarakat Adat

  Kalian pasti masih inget kan, waktu itu ada video Afni Zulkifli yang viral di media sosial? Dia seorang Tenaga Ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Provinsi Riau yang membela kawanan gajah yang terusik sama keluhan warga. Warga ngeluh gara-gara para gajah itu suka melintasi area hunian mereka. Tapi malah yang diingetin sama Afni Zulkifli, bukan kawanan gajah yang masuk ke pemukiman warga, tapi justru warga yang masuk ke rumah gajah! Bukannya kawanan gajah itu udah dari dulu melewati jalur yang sama, ya kan?


Nah, dari situ muncul pertanyaan kecil buat kita, apakah gajah atau hewan-hewan lain bisa dianggap sebagai warga negara juga? Kalo iya, paradigma seperti apa yang bisa membantu kita mencapai keadilan antara spesies? Ini nih lho pertanyaannya yang bikin kita jadi introspeksi tentang apa sih arti kewargaan di tengah krisis ekologis yang beneran kita alamin.

Salah satu isu penting di diskusi kewargaan itu adalah bagaimana "kita" bisa ngambil keputusan buat kehidupan bersama yang lebih baik. Tapi yang bikin bingung, siapa sih yang dimaksud sama subjek "kita" ini? Ini lho yang perlu kita pikirin buat ngertiin arti kewargaan yang sebetulnya.


Dominasi Barat dalam Paradigma Kewargaan

Nah, jadi kan kita tadi ngebahas soal pertanyaan "siapa" ketika membicarakan kewargaan, dan kita akhirnya terdampar di paradigma Barat yang dominan. Itu lho, paradigma yang ngasih label warga cuma buat manusia doang.

Masalahnya, paradigma semacam itu membuat hewan terpinggirkan juga dalam diskusi kewargaan. Sebagai makhluk yang hidup di bumi sama kayak manusia, hewan juga punya peran penting dalam membangun komunitas masyarakat beserta alam yang menaunginya.

Masukin hewan sebagai warga negara juga artinya ngakui kalau hewan itu bagian integral dari komunitas manusia. Kita sebagai manusia harus nyadar, bahwa hidup di bumi ini bukan cuma soal manusia doang, tapi juga mesti ngeresepsi entitas lain, terutama hewan, yang penting buat menjaga keseimbangan alam.

Tapi sayangnya, paradigma kewargaan ini berakar dari kebudayaan Barat abad ke-17 yang nganggep manusia sebagai makhluk rasional satu-satunya yang punya hak politik dan hukum. Akibat paradigma semacam ini, kearifan lokal masyarakat adat seringkali diabaikan. Padahal, masyarakat adat punya pengetahuan tentang hubungan antara manusia dan alam yang unik dan bisa turut membantu mengatasi krisis lingkungan global.

Makanya, kita perlu reformulasi diskusi kewargaan biar makin sensitif sama lingkungan. Jangan cuma berfokus sama manusia, tapi kita juga harus ngakui peran penting hewan dalam membangun komunitas warga yang lebih seimbang dan berkelanjutan.


Kewargaan Ekologis dan Hewan sebagai Warga Negara

Lho, ada paradigma baru nih dalam diskusi kewargaan yang bisa mengakomodasi spesies hewan dan entitas nonmanusia ke dalam lingkup dialog. Namanya paradigma kewargaan ekologis atau ecological citizenship.

Gampangnya, paradigma satu ini nggak cuman ngebingkai diskusi kewargaan dalam konteks antroposentris (berfokus pada manusia), tapi juga mempertimbangkan seluruh entitas yang membentuk komunitas. Istilahnya sih, ecological citizenship ini melek lingkungan banget. Dia mengakui kalau semua makhluk di dalam ekosistem punya nilai intrinsik masing-masing.

Nah, karena paradigma ini ngehitung setiap makhluk sebagai subjek aktif dan penting, mereka nggak cuma dianggap sebagai sumber daya. Mereka dianggap punya hak yang perlu dilindungi. Dan, yang lebih keren lagi, tiap orang juga punya tanggung jawab ekologis dan harus aktif terlibat dalam aksi-aksi yang mendukung kelestarian alam.

Kelebihan dari paradigma kewargaan ekologis ini nih, bisa mengakomodasi masalah lingkungan yang sekecil apa pun jadi masalah global. Jadi, tiap orang wajib berkomitmen untuk memperhatikan kelestarian alam dan semua makhluk yang hidup di dalamnya. Selain itu, dengan paradigma kewargaan ekologis kita bisa memperjuangkan kebijakan yang melindungi hewan dan entitas nonmanusia lainnya. Misalnya, melarang pembunuhan hewan secara semena-mena, dukung praktik peternakan yang etis, dan tindakan kolektif untuk mengurangi konsumsi daging berlebihan, serta upaya konservasi satwa liar. Intinya, dengan paradigma kewargaan ekologis, kita bisa menghargai setiap makhluk dan melindungi mereka dengan etis dan hormat.


Konsep Kewargaan Ekologis di Masyarakat Adat

Ternyata, konsep kewargaan ekologis ini juga punya relevansi yang besar dalam konteks masyarakat adat. Menurut Sue Donaldson, banyak masyarakat adat selama ini sudah ngeliat hewan-hewan sebagai bagian dari dunia politik dan berusaha membangun hubungan yang baik dengan mereka. Misalnya, masyarakat adat Anishinaabeg di Amerika Serikat dan Kanada yang percaya bahwa hewan juga punya negara dan wilayah mereka sendiri. Makanya, masyarakat adat Anishinaabeg berkomitmen untuk memperlakukan hewan dengan etis dan bertanggung jawab.

Sama halnya dengan masyarakat adat di Sulawesi Selatan, Bara dan Cindakko. Masyarakat adat ini percaya bahwa segala entitas di dunia, entah itu hewan, pohon, atau batu, semuanya itu adalah orang atau tau-tau. Masyarakat adat Bara dan Cindakko menganggap tau-tau ini punya jiwa yang perlu dihargai. Jadi, pengetahuan adat semacam ini sebenarnya mengajarkan kita gimana cara jadi manusia yang baik sebagai bagian dari alam. Pengetahuan ini bisa jadi alternatif buat menghadapi krisis lingkungan yang semakin hari semakin ngebahayain.

Trus, ada satu kalimat dari Daeng Joha, tautoa dari masyarakat adat Bara, yang bikin saya terharu, "Pohon itu sejatinya sama seperti manusia, mereka juga memiliki tau-taunna (jiwa-suara). Setiap pohon itu juga hidup seperti halnya manusia yang hidup". Lucu ya, ternyata pohon juga punya 'suara' yang harus dihargai.


Original Source: https://crcs.ugm.ac.id/hewan-sebagai-warga-negara-refleksi-atas-kewargaan-ekologis/?fbclid=PAAaYJeXQcltAaI-Q1aMunIf_MRxDwm1iHqKyvbE1KCsnWADACJpYExuVLO4

Comments

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.