Skip to main content

Hegel dan Dialektika

Saya pernah membahas proyek filsafat kritis dari Immanuel Kant, kan? Nah, jadi intinya dalam metode berpikir Kant, manusia mencari kondisi-kondisi kemungkinan pengetahuan, dan juga dasar rasional dari fenomena yang ingin diteliti. Filosofi Kant ini banyak memengaruhi para filsuf setelahnya, salah satunya si Hegel. Tapi, walaupun terpengaruh oleh Kant, Hegel tetap ngasih kritik pedas lho.



Nah, di bab ini kita bakalan ngebahas sedikit tentang cara berpikir Hegel, khususnya yang berkaitan dengan metodenya untuk memahami realitas. Btw, tulisan yang jadi acuan kita kali ini adalah “Hegel’s Phenomenology of Spirit” yang ditulis oleh Larry Krasnoff.

Pertanyaannya sekarang, apa sih sebenarnya latar belakang filsafat Hegel? Kinclong-kincing, yuk kita cari tahu lebih dalam tentang si Hegel ini.

Latarbelakang

Dunia kita sekarang banyak dipengaruhi oleh peradaban Eropa utara yang berkembang sejak 400 tahun yang lalu. Di zaman itu, Eropa berubah dari suatu peradaban yang religius banget jadi peradaban yang fokus pada ilmu pengetahuan, militer, dan filsafat. Tiga hal itu yang bikin Eropa jadi peradaban terbesar sepanjang sejarah manusia dan pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.

Para filsuf pun manggil perubahan itu modernitas. Nah, pertanyaannya, kenapa bisa terjadi modernitas dan bagaimana prosesnya? Sampai sekarang, para ahli masih mencari jawaban terbaik soal pertanyaan itu. Tapi menurut penelitian Krasnoff, biasanya para ahli lebih fokus sama peristiwa tertentu kayak Reformasi Protestan, perkembangan fisika modern lewat Galileo dan Newton, penjelajahan Amerika, perdagangan bebas, kapitalisme, dan Revolusi Amerika dan Perancis.

Tapi, menurut Krasnoff, jawabannya ada pada perubahan paradigma dalam memandang realitas. Dulu alam dipandang sebagai sesuatu yang bisa dipelajari dan digunakan sepenuhnya buat kepentingan manusia. Agama juga dipandang lebih buat urusan privat, bukan lagi urusan bersama seperti dulu. Agama juga dipisahkan dari urusan negara dan jadi lebih dipinggirkan dalam kehidupan politik.

Di zaman sekarang, politik nggak lagi dijadikan alat buat meraih kekuasaan semaksimal mungkin untuk ngisi kantong sendiri. Tapi politik tuh harusnya jadi alat buat menjaga hak asasi manusia dan hak politik buat memilih pemimpin secara demokratis. Tiga pandangan itu udah menyebar ke seluruh dunia, dan jadi paradigma penting yang dipakai.

Tapi, di tahun-tahun terakhir ini banyak pemikir yang nanya, apa modernitas tuh beneran satu-satunya paradigma buat kehidupan manusia? Nggak ada alternatifnya enggak ya? Ternyata ada beberapa alternatif yang kemungkinan bisa terjadi, kayak pemerintah totaliter yang memakai agama atau ras dominan, masyarakat mistik yang ngelindungin alam terus lupa memanfaatkan buat kepentingan manusia, atau masyarakat tertutup yang nggak restui perbedaan dan hak asasi manusia.

Tapi menurut Magnis-Suseno, demokrasi yang jadi esensi politik modernitas tuh paling oke dari semua alternatif yang ada. Nggak cuma itu, menurut perdana menteri Inggris waktu perang dunia II, Winston Churchill, demokrasi juga tuh bentuk politik terbaik dibanding bentuk-bentuk politik lainnya yang udah dicoba di sejarah manusia.

Nah, pertanyaan yang lagi nyerocos soal modernitas, apakah modernitas tuh baik secara moral? Menurut Krasnoff, pertanyaan itu nggak relevan. Kayak tanya, oksigen baik atau enggak buat manusia? Ya pastinya baik dong, semua orang butuh oksigen dan nggak bisa milih yang lain.

Masalahnya modernitas udah menyebar begitu luas, jadi nanya apakah baik secara moral itu sebenarnya problematis. Setiap orang terpengaruh dengan cara beda-beda dan ngerasain sendiri gimana pengaruh modernitas ke dalam hidupnya. Jadi nggak bisa disederhanakan dalam satu hal aja.

Tapi, modernitas tuh bukan tanpa kelemahan juga lho. Versi Krasnoff sih modernitas kelewat fokus sama ekonomi dan teknologi. Modernitas terlalu terobsesi sama paham kapitalisme yang kadang ngorbanin manusia dan dieksploitasi buat ngumpulin keuntungan yang lebih tinggi. Teknologi juga bisa bikin manusia jadi nggak berperikemanusiaan, hubungan manusiawi jadi cenderung berdasar kebutuhan yang instrumentalis dan dangkal. Teknologi juga bikin banyak limbah yang merusak lingkungan. Kayak krisis global warming, yang terjadi sekarang, sebagian besar karena penggunaan teknologi yang terlalu berlebihan.

Modernitas juga seringkali meremehkan budaya-budaya lokal yang punya cara pandang berbeda. Negara-negara Eropa dan Amerika punya kebiasaan arogansi sama negara-negara Asia dan Afrika karena beda budaya.

Eh, ternyata modernitas ini punya sisi positif juga lho. Versi Krasnoff, sisi positif modernitas paling terpancar pada aspek moral dan politik. Modernitas tuh lebih ngerangkum kebebasan manusia sebagai individu, yang sebelumnya dibatasi sama kelas sosial, tradisi, dan agama.

Tapi sekarang orang mulai merasa nyaman untuk mengedepankan kebebasannya. Buat soal agama misalnya, sekarang tiap orang bebas memilih dan mengekspresikan agamanya, sejauh nggak melanggar hak orang lain. Buat soal politik juga, tiap orang bebas nentuin siapa yang bakal jadi pemimpin di negara mereka. Buat soal ekonomi juga demikian, tiap orang bebas ngejar kekayaan, sejauh masih di dalam batas hukum. Dan buat soal budaya, setiap orang jadi bebas buat hidup dengan caranya sendiri, sejauh nggak merugikan orang lain.

Meskipun cita-cita modernitas belum secara sempurna terwujud di realita, tetap harus jadi tujuan utama buat semua praktek politik, ekonomi, agama, dan budaya sekarang ini.

Nah, ngomongin modernitas juga nggak jauh dari Hegel, tokoh yang kita pelajari di bab ini. Menurut Krasnoff, cita-cita modernitas tentang kebebasan itu terasa banget dalam filsafat Hegel yang lumayan terkenal.

Tulisan-tulisan Hegel ngebahas gimana roh absolut bergerak dalam sejarah untuk mencapai kebebasan. Tapi ngapain Hegel jadikan tema kebebasan, yang jadi esensi modernitas, di dalam filsafatnya? Krasnoff nyebut kalo Hegel mulai tertarik sama kebebasan pas ngeliat revolusi Prancis. Hegel terpesona sama energi kebebasan yang terwujud dalam revolusi Prancis.

Tapi kenapa Hegel begitu kagum sama cita-cita kebebasan? Buat jawab pertanyaan itu, kita harus liat sedikit sejarah hidup Hegel. Hegel itu adalah anak pegawai negeri yang miskin dari Stuttgart. Tapi dia super pintar. Pada 1788, dia masuk seminari di Universitas Tuebingen buat jadi calon imam Katolik. Di sana, dia kenal sama Friedrich Schelling, yang juga jadi teman akrabnya. Schelling dan Hegel sekarang dikenal sebagai para filsuf Idealisme Jerman. Jadi paham filsafat yang mereka pelajari ngebahas gimana realitas itu bukan cuma benda-benda material aja, tapi juga bentukan konsep-konsep rasional yang ada di pikiran manusia. Konsep-konsep tersebut seperti 'aku murni', 'roh absolut', 'non-aku', dan banyak lagi. Paham Idealisme Jerman ini berkembang di Jerman pada abad ke-18, tapi pengaruhnya masih terasa banget sampai sekarang.

Zaman Hegel tuh penuh tantangan. Di Perancis terjadi Revolusi yang ngerombak tatanan monarki feodal, sementara di Jerman, negara tempat Hegel lahir dan besar, tetap stabil dan konservatif banget. Universitas Tübingen, yang jadi tempat Hegel kuliah, tuh super konservatif sampe larangan buat ngomongin teks filsafat Pencerahan yang terkenal dengan ide otonomi dan kebebasan individu.

Tapi nggak bikin Hegel mundur. Dia tetep baca tulisan-tulisan Rousseau dan Kant yang membantunya untuk mengembangkan filsafatnya sendiri yang super kreatif. Meskipun Inggris dan Perancis udah jadi negara modern dengan kebebasan sebagai bagian dari kehidupan sosial, di Jerman orang masih seringkali berbenturan sama otoritas pemerintah. Maka dari itu, Hegel jadi salah satu karakter penting yang membawa Jerman dari keterbelakangan menuju ke modernitas.

Menurut Krasnoff, prinsip utama dalam filsafat Hegel itu subyektivitas. Makanya, karya terkenal Hegel, Phenomenology of Spirit, tuh ngebahas gimana kita bisa menggenggam dan mengekspresikan subyektivitas. Filsafat tuh sebenarnya ekspresi dari subyektivitas manusia itu sendiri. Tapi, kita harus ngebahas bentuk ekspresi yang gimana dan hakekat (nature) dari subyektivitas biar bisa memahami filsafat secara lebih utuh.


Subyektivitas di dalam Filsafat Hegel

Dalam dunia filsafat, tema tentang subyektivitas sudah dibahas ratusan tahun sebelum masa hidup Hegel. Filsuf modern kayak Kant dan Descartes udah merefleksikannya dengan sistematis dan dalam. Tapi, menurut Hegel, refleksi filsafat tentang subyektivitas di dua filsuf itu masih terjebak di dalam kesalahpahaman dan ketidakharmonisan.

Bagi Descartes, subyektivitas tuh cuma jadi konsep kontemplatif yang dimanfaatkan sebagai titik awal buat memberikan kepastian metodologis. Tapi, implikasinya adalah nggak jelas gimana hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia fisik eksternal. Kalau pikiran itu cuma soal individu, subyektif semata, nggak mungkin juga buat menilai apakah pikiran itu bener atau salah. Descartes percaya bahwa hubungan antara pikiran dan dunia luar terletak pada fakta bahwa Tuhan itu ada, dan kita nggak mungkin diperdaya sama Tuhan. Tapi, ini sebenarnya argumennya jelek dan dogmatis banget. Jadi, bisa dikatakan kalau pendekatan Descartes yang ingin bikin metode berpikir metodis di dalam filsafat adalah kelemahan dalam teorinya. Dia nggak ngasih argumen yang memadai buat menjelaskan hubungan antara pikiran dan realitas dunia luar.

Nah, dia Hume adalah satu sosok yang nggak setuju banget sama argumen Descartes. Menurut Hume, nggak semua relasi sebab-akibat itu nyata di realitas. Dia juga bilang kalo nggak mungkin buat kita punya pengetahuan yang beneran tepat tentang realitas. Tapi kemudian hadir seorang Kant, yang mencoba ngritik argumen Hume dengan bilang kalo pengetahuan tentang dunia fisik itu mungkin karena struktur akal budi kita memungkinkannya. Struktur akal budi ini juga disebut sebagai subyektivitas.

Nah, bedanya, buat Kant, konsep subyektivitas ini lebih aktif dan bukan cuma titik awal buat kontemplasi kayak konsep Descartes. Konsep subyek di dalam filsafat Kant bahkan bisa membentuk pengetahuan kita tentang dunia luar. Jadi, jangan salah, dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia, ya nggak ada dunia.

Ini yang Krasnoff sebut sebagai konsep subyektivitas yang idealistik. Konsep subyek di dalam Kant tuh melebihi konsep subyek di dalam filsafat Descartes yang cenderung pasif dan kontemplatif. Suatu konsep subyek yang aktiflah. Bagi Kant, akal budi itu fakultas yang di dalamnya bisa membentuk ide-ide. Ide-ide ini bisa didapat dari luar dan dalam juga.

Kant itu seorang filsuf yang agak beda. Ide kebebasan itu buat dia nggak bisa dianalogikan dengan benda fisik kayak meja atau kursi. Tapi, ini nggak berarti kalo ide kebebasan itu nggak beneran ada. Walaupun nggak bisa dilihat secara fisik dan nggak bisa dijadikan obyek pengetahuan langsung, manusia masih bisa pahamin konsep kebebasan itu dengan cara lain. Bagi Kant, ide kebebasan udah jadi bagian dari tindakan moral manusia sebagai mahluk rasional. Kalau nggak ada kebebasan, tindakan moral jadi mustahil.

Nah, Hegel sendiri tuh bisa disebut sebagai upaya ngelempar jauh konsep subyek di dalam filsafat Descartes dan Kant. Hegel jadi terpengaruh banget sama Revolusi Perancis, dia ngebawa kekuatan kebebasan subyek buat melawan semua bentuk kekuatan yang mengekang. Jadi, intinya, konsep subyektivitas Hegel ini jadi lebih revolusioner dibanding konsep subyek di dalam filsafat Descartes atau Kant.

Sejatinya, banyak filsuf yang berharap kalo kebebasan itu bisa disalurkan ke hal-hal positif, kayak buat pengembangan ilmu pengetahuan atau moralitas. Tapi, menurut Krasnoff, subyek yang benar-benar bebas itu nggak bisa diprediksi tindakan atau pilihannya ke depan. Kalo bisa diprediksi, berarti nggak bebas. Konsep subyek di dalam filsafat Descartes itu berhenti di situ aja, cuma koheren secara konseptual dan nggak bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara subyek moral ala Kant itu memasukkan kebebasan sebagai pengandaian, yang nggak selalu menjamin dia akan bertindak secara moral.

Hegel sendiri sebenarnya setuju dengan Kant. Tapi, Hegel ingin menyelamatkan konsep subyek dari kesendirian kayak konsep subyek di dalam filsafat Descartes. Hegel juga percaya kalo subyektivitas manusia itu aktif dan kreatif, yang bisa menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek melewati semua hambatan, dia bakal jadi sadar diri, yang berarti sadar akan kesalahan dari tindakan atau pilihannya. Dalam proses memahami dirinya sendiri ini, subyek pun jadi semakin paham tentang dirinya.

Menurut Hegel, proses pengenalan diri ini kayak perjuangan sama kematian itu sendiri. Kebebasan manusia sebagai subyek paling terlihat saat menghadapi kematian dan konfrontasi sosial. Tapi, ada sisi yang kontradiktif juga nih. Bukankah lingkungan sosial yang nentuin arti dan makna hidup seseorang? Dan bukankah kematian yang memberikan makna buat hidup manusia, kayak yang dibilang Heidegger? Jadi, subyek selalu bertegangan antara keinginan buat bebas dan keinginan untuk terikat sama lingkungan sosialnya. Selalu ada tegangan juga antara dorongan untuk mencari makna hidup dan kekhawatiran menghadapi kematian. Di situlah subyek jadi sadar akan dirinya sendiri.


Hegel dan Dialektika

Hegel punya metode unik dalam berpikir, yang disebut dialektik. Dalam metode ini, ada tiga tahap, yaitu tesis, antitesis, dan sintesis. Pertama, kita bangun suatu pernyataan (tesis). Kedua, kita bikin pernyataan argumentatif yang menolak tesis kita (antitesis). Terakhir, kita upayakan untuk memadukan dua pernyataan yang bertolak belakang tadi, jadi satu kesimpulan baru (sintesis). Meskipun konsep tesis-antitesis-sintesis ini nggak pernah disebutkan secara langsung oleh Hegel, pemikiran dialektis ini sering banget dipake di tulisan-tulisannya.

Tapi, istilah tesis-antitesis-sintesis ini nggak cuma milik Hegel, lho. Konsep dialektik kayak gini udah ditemuin duluan sama filsuf lain. Tapi, di tangan Hegel, dialektik jadi semakin populer dan sering dipake sama para filsuf lain dari Jerman.

Walaupun kata-katanya beda, cara berpikir Hegel tetep pake logika yang kurang lebih sama kayak tesis-antitesis-sintesis tadi. Dia pake konsep abstrak-negatif-konkret buat ngartikulasikan pandangannya tentang realitas. Dan ada juga konsep lain yang dia pake, kayak langsung-tidak langsung-konkret. Gimana, udah paham itunya?

Rumus tesis-antitesis-sintesis kadang suka bikin kita bingung. Kita nggak ngerti kenapa tesis kita berhubungan sama antitesis kita secara logis. Tapi para ahli Hegel bilang, di dalam tesis kita udah termasuk antitesisnya. Hmm, jadi apa maknanya tuh?

Nah, ini kayaknya lebih gampang dimengerti: Hegel punya rumus lain buat dialektik, yaitu abstrak-negatif-konkret. Jadi, tesis kita kan abstrak, artinya masih nggak diuji di dunia nyata. Ada kelemahan di situ. Nah, di level antitesis, yang negatif, kita lempar konsep abstrak kita ke dalam dunia nyata, dan itu seringkali bikin kita ngedapetin pengalaman yang negatif juga. Baru setelah itu, abstrak dan negatif kita dijalin, dan kita jadi bisa bikin konsep kita jadi konkret.

Konsep tesis-antitesis-sintesis itu kadang bikin bingung, tapi konsep abstrak-negatif-konkret ini lebih jelas. Maksudnya, baru setelah tesis dan antitesis kita disatukan, kita bisa dapetin solusi konkret buat masalah kita.

Hegel punya konsep Aufhebung, yang artinya ‘melampaui’. Konsep ini itu kayak mau ngelangkahin batasan-batasan konsep lama, tapi tetep ambil sisi positifnya. Dalam Science of Logic, Hegel bikin contoh buat proses dialektika buat ngebahas kebeberapa manusia. Awalnya, keberadaan manusia itu Ada (Being). Tapi Ada-Murni nggak bisa dibedain sama Ketiadaan (Nothing). Jadi, di proses Ada-Murni, yang kayaknya gini-gini aja, bakal lewatin batasan-batasannya sendiri dan jadi jadi ‘menjadi’ (Becoming). Dalam istilah dialektika Hegel, Ada-Murni adalah tesis, Ketiadaan adalah antitesis, dan Becoming adalah sintesis.

Di konsep dialektikanya, Hegel juga gencar banget pake unsur kontradiksi. Buat Hegel, setiap tahapan perkembangan realitas kayak tesis, antitesis, dan sintesis itu selalu punya kontradiksi yang kuat di tahapan sebelumnya. Hegel percaya kalo semua sejarah dunia itu tentang dialektika dan kontradiksi.

Apa contohnya? Dulu zaman pemerintahan yang ideal tuh monarki absolut, dengan satu raja jadi acuan utamanya. Ideologi tuh didasarkan sama dua asumsi. Pertama, legalitas perbudakan yang bikin tenaga kerja manusia jadi murah. Kedua, bahwa rakyat justru bodoh dan nggak mampu memimpin atau bikin keputusan buat dirinya sendiri. Tapi, cara pandangan kayak gitu punya kontradiksi, soalnya negara malah nggak bisa berkembang kalo asumsi kayak gitu beneran. Seiring berjalannya waktu, sekarang pemerintahan ideal itu demokrasi, dengan merujuk sama warga negara yang bebas dan cerdas.

Nah, dari contoh monarki absolut tadi, kita bisa liat bahwa kontradiksi itu muncul dari dalam tesis sendiri. Yang namanya antitesis itu udah ada di dalam tesis. Dan sintesis juga udah ada di dalam tesis sama antitesis.

Jadi, tujuan metode dialektika Hegel itu untuk menganalisis realitas, dan ngertiin segalanya pake akal budi. Konsep inti di sini adalah negasi atas negasi, atau yang disebut Auchhebung. Konsep ini mulai dari asumsi sederhana aja, bahwa segala sesuatu ada dan bisa dikenal karena ada relasi sama yang lain. Meja ada karena ada segala sesuatu yang bukan meja. Jadi, meja negasi segala sesuatu yang bukan meja, jadi bisa jadi meja.

Hegel mau ngajarin kita buat liat realitas tuh kayak proses. Proses itu lewatin tahap-tahap yang keliatannya penuh dengan hal-hal negatif. Tapi, hal-hal negatif itu akhirnya jadi antitesis yang bisa jadi ‘melampaui’ tesis dan antitesis sebelumnya. Buat Hegel, seluruh realitas bergerak dengan pola kayak gitu. Dan di akhir sejarah nanti, realitas bakal mengalamin sintesis absolut. Itulah akhir sejarah versi Hegel. Dialektika punya dua unsur penting, kontradiksi dan negasi. Kedua unsur itu punya hal-hal negatif yang kuat, tapi dibutuhkan buat realitas bisa berkembang jadi sintesis absolut.



Comments

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.