Pada tahun 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 108 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan menetapkan hari kelahirannya, yaitu 21 April, sebagai Hari Kartini. Keputusan ini didasarkan pada penderitaan yang dialami oleh kaum wanita pada masa itu, di mana peran wanita terbatas pada tiga kawasan, yaitu sumur, dapur, dan kasur. Wanita juga hanya dianggap sebagai obat penawar bagi pria dari nafsu semata. Kondisi ini terjadi karena ketentuan adat yang sudah berakar dan menjadi kebiasaan.
Namun, ada satu tokoh perempuan yang menjadi pelopor kebebasan dan kesetaraan wanita, yaitu Ibu Kartini. Dia memberikan ide dan gagasannya untuk membumihanguskan pemikiran ortodoks dan mendobrak feodalisme, sehingga wanita bisa lepas dari tali yang membelenggu pergerakannya. Gerakan emansipasi wanita yang dipelopori oleh Kartini menjadi langkah penting untuk melepaskan wanita dari norma dan aturan yang membatasi gerakannya.
Hal yang menarik perhatian dari pemikiran Kartini adalah bahwa dia lahir dari keluarga priyayi atau bangsawan yang hidup dalam tradisi adat dan ajaran nenek moyangnya. Namun, hal ini tidak menghalangi Kartini untuk memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan wanita di Indonesia. Dia berhasil merealisasikan cita-citanya untuk membebaskan dan menyetarakan wanita agar memiliki hak dan kedudukan yang sama.
Kini, Hari Kartini diperingati setiap tahun sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa dan perjuangan Ibu Kartini dalam memperjuangkan hak-hak wanita di Indonesia.
Kartini adalah seorang tokoh perempuan yang dikenal karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak wanita di Indonesia. Kartini ingin mengubah nasib dan meningkatkan derajat kaum wanita yang saat itu dianggap rendah oleh masyarakat.
Pada masa itu, budaya dan adat yang dianggap kaku dan mati telah merampas hak-hak wanita atas dasar kesamaan dan kesetaraan. Wanita tidak memiliki kebebasan untuk keluar rumah, bersekolah, bekerja di luar rumah, dan menduduki jabatan seperti halnya laki-laki.
Namun, Kartini memahami bahwa buruknya hal tersebut tidak hanya berdampak pada kaum wanita, melainkan juga terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seiring berjalannya waktu, wanita tidak lagi tersandera dengan ketentuan adat yang mengkooptasi hak-haknya. Wanita kini dapat merasakan manisnya pendidikan, nikmatnya menjadi profesi yang diinginkan, bahkan dapat menduduki jabatan untuk masyarakat.
Cita-cita dan perjuangan Kartini tidak hanya ditujukan untuk kaum wanita, melainkan juga untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia secara keseluruhan. Perjuangan Kartini telah membuka jalan bagi perempuan Indonesia untuk mencapai kesetaraan dan kesamaan di berbagai bidang.
Pada masa lalu, saat feodalisme masih dominan di masyarakat Jawa, pendidikan bagi perempuan sangat terbatas dan hanya difokuskan pada keterampilan rumah tangga. Namun, Kartini memiliki pandangan yang lebih luas tentang pendidikan. Bagi Kartini, pendidikan tidak hanya tentang mencerdaskan pikiran atau membantu karir di rumah tangga, tapi juga untuk membentuk karakter yang cerdas dan berakhlak baik.
Meski dalam hati dan pikirannya Kartini merasa tidak suka dengan praktik-praktik feodalisme di masyarakat, ia tidak menyerah dan terus mengkritiknya. Dalam buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer, Kartini mengungkapkan bahwa adik-adiknya harus menggunakan bahasa kromo saat berbicara dengannya, dan tidak boleh menggunakan bahasa yang lebih kasar.
Kartini ingin mengubah budaya feodalisme yang ada dengan cara yang bijaksana dan arif, melalui gagasan emansipasi wanita yang penting untuk kemajuan bangsa. Sikap ini merupakan bentuk perjuangan Kartini dalam membebaskan perempuan dari tekanan budaya yang kaku dan mati.
Comments
Post a Comment