Skip to main content

Habermas: Modernitas dan Intersubjektif dalam "Senjakala Modernitas" oleh Mas Irfan Afifi

 Baru-baru ini, saya bertemu dengan seorang penulis yang saya kenal melalui internet, Mas Irfan Afifi. Kami berbicara tentang buku terbaru beliau, "Senjakala Modernitas", yang masih saya baca sampai sekarang.



Selama berbincang, saya merasa tahu mengapa Mas Irfan memiliki pemikiran yang kuat. Dari yang tadinya lebih tertarik pada filsafat Barat, ia kemudian bergeser ke Jawanisme. Saya merasa ini adalah lompatan signifikan dalam dirinya sebagai seorang penulis.

Komunikasi kami semakin dalam ketika saya diminta menjadi pembanding pada acara bedah buku yang diadakan oleh Mas Irfan. Saya sangat senang sekali, karena sebenarnya saya sudah mengimpikan ini sejak dari peluncuran bukunya.

Tidak hanya itu, saya dan Mas Irfan ternyata berbagi minat dalam filsafat Habermas. Bahkan buku saya sendiri yang berjudul "Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif" juga berdasarkan teori Habermas tentang konsep ruang publik dan etika diskursus. Walaupun ada sedikit perbedaan fokus dalam hal ini, saya merasa bahwa kami memiliki persepsi yang sama.

Buku "Senjakala Modernitas" sendiri didasarkan pada karya Habermas yang terkenal, "Modernity: an Incomplete Project". Dalam karyanya, Habermas menegaskan bahwa modernitas adalah proyek yang belum selesai dan masih memerlukan pengembangan lebih lanjut.

Walau begitu, tidak sedikit yang mengkritik Habermas dan para pengikutnya yang wanti-wanti terhadap "kematian subyek". Ada sebagian pemikir yang menganggap bahwa Habermas terjebak dalam pikirannya, dan terlalu berpegang pada metafisika.

Namun, menurut saya, gagasan-gagasan Habermas tetap bernilai selama diinterpretasikan dengan benar. Dia mencoba mempertahankan isi normatif dari modernitas, yaitu rasionalitas budaya, masyarakat, dan individu. Jika rasionalisasi dijalankan dengan benar, modernisasi akan terjamin dan akan menjamin integrasi kebudayaan dan masyarakat. Masalahnya, kapitalisme membuat modernitas berciri patologis karena terjadi erosi makna dan alienasi.

Dalam pembahasannya, Mas Irfan memfokuskan pada rasionalitas komunikatif sebagai sarana emansipasi karena emansipasi hanya dapat terjadi melalui intersubjektif yang dibingkai dalam diskursus. Dalam pandangan Mas Irfan, modernitas yang sekarang sudah mencapai titik senjakala dan perlu direformasi. Saya sepenuhnya setuju dengan pandangan ini, dan saya kagum dengan buku ini dan penulisan Mas Irfan secara keseluruhan.

Akhir kata, saya merasa bahwa buku seperti "Senjakala Modernitas" layak untuk diapresiasi. Menulis buku semacam ini memang memerlukan keberanian tersendiri, terutama di masa sekarang yang semakin terpinggirkannya buku-buku wacana di kalangan akademisi dan mahasiswa. Saya berterima kasih kepada Mas Irfan karena telah mencurahkan pemikirannya ke dalam buku ini.



Comments

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.