Simone de Beauvoir memiliki pandangan yang materialistik dalam memahami manusia. Bagi Beauvoir, manusia tidak dapat didefinisikan secara statis atau tetap tanpa mempertimbangkan kegiatan dan aktivitasnya. Ia menekankan pentingnya konteks sosial dan historis dalam memahami manusia.
Dalam pandangan Beauvoir yang selaras dengan Jean-Paul Sartre, ia menyatakan bahwa esensi atau makna suatu entitas tidak dapat ada sebelum adanya eksistensi atau keberadaan entitas tersebut. Artinya, manusia tidak memiliki esensi yang ditentukan sebelum lahir, tetapi esensi atau makna hidup seseorang terbentuk melalui tindakan dan kegiatan yang mereka lakukan selama hidup.
Beauvoir menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang berada dalam ruang dan waktu tertentu, dan makna atau esensi hidup manusia terkandung dalam eksistensinya yang nyata. Manusia tidak dapat dilepaskan dari realitas dan fakta-fakta yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, untuk memahami seseorang secara menyeluruh, penting untuk melihat kegiatan dan aktivitas konkret yang dilakukannya serta konteks sosial dan sejarah di mana mereka berada.
Dalam pandangan Beauvoir, pemahaman terhadap manusia tidak dapat terlepas dari pengalaman konkrit dan realitas hidup mereka. Ia menekankan pentingnya memahami manusia sebagai makhluk sosial yang terlibat dalam interaksi dan hubungan dengan orang lain serta dunia di sekitarnya. Esensi atau makna hidup manusia terungkap melalui tindakan dan keputusan yang diambil dalam konteks kehidupan mereka.
Dalam hal ini, Beauvoir menawarkan sudut pandang yang menekankan tanggung jawab individu terhadap kehidupan mereka sendiri. Manusia memiliki kebebasan untuk membuat pilihan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Dengan mengakui bahwa esensi atau makna hidup tidak ada sebelum eksistensi, Beauvoir menekankan pentingnya individu untuk menciptakan dan menentukan arti hidup mereka sendiri melalui tindakan dan kegiatan yang mereka pilih.
Secara keseluruhan, pandangan Beauvoir menggarisbawahi pentingnya memahami manusia sebagai makhluk yang terjalin dengan realitas, konteks sosial, dan aktivitas hidup mereka. Esensi atau makna hidup manusia tidak ada sebelum eksistensi, tetapi terungkap dan terbentuk melalui interaksi, tindakan, dan keputusan yang diambil dalam kehidupan mereka.
Simone de Beauvoir mencoba menjelaskan bahwa eksistensi manusia tidak hanya ditentukan oleh kondisi psikologis semata. Dalam karya "Fakta dan Mitos", Beauvoir mengkritik beberapa kelemahan psikoanalisis Freud. Pertama, ia mengatakan bahwa pengagungan phallus atau simbol kekuasaan laki-laki tidak ada di setiap budaya atau tradisi, sehingga teori Freud hanya berlaku dalam konteks tertentu. Kedua, Beauvoir mencatat bahwa Freud tidak dapat menjelaskan asal-usul dominasi laki-laki yang kemudian memunculkan kekuasaan dalam konsep ayah atau laki-laki.
Dalam hal ini, Beauvoir mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan kerangka metafisika penyatuan tubuh. Namun, hukum ini terus dilanggar dalam masyarakat yang terus membatasi perempuan. Masyarakat, terutama komunitas patriarkal yang berfokus pada kepentingan laki-laki, sering kali menciptakan esensi yang berasal dari motif pencapaian tujuan tertentu. Hal ini menghasilkan idealitas atau nilai-nilai palsu yang kemudian diperkuat oleh sebuah bentuk "Sosok Yang Lain" atau "Esensi Tertinggi".
Beauvoir berpendapat bahwa perempuan secara alami mencari subjek dari diri mereka sendiri karena mereka tidak mudah menemukan alter ego seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Laki-laki memiliki keunikan dalam kepemilikan phallus, di mana hubungan antara anak laki-laki dan laki-laki dewasa dengan organ tersebut berkembang. Phallus dianggap sebagai subjek yang berbeda dari diri sendiri, menjadi alter ego bagi laki-laki, dan memberikan potensi bagi mereka untuk mendorong diri mereka dalam melakukan tindakan.
Dalam konteks ini, Beauvoir menekankan bahwa perempuan sering kali harus mencari kekuatan dan otoritas dalam diri mereka sendiri, karena mereka tidak memiliki simbol eksternal seperti phallus yang memberikan dorongan kuat seperti yang dialami oleh laki-laki. Beauvoir mencoba menjelaskan perbedaan ini dalam upaya memahami peran gender dan bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi eksistensi dan kesadaran manusia.
Secara keseluruhan, pandangan Beauvoir menyoroti perbedaan pengalaman dan peran gender dalam masyarakat. Ia berpendapat bahwa perempuan sering kali harus mencari subjek dari diri mereka sendiri, sementara laki-laki memiliki kecenderungan untuk mencari kekuatan dan identitas dalam simbol-simbol eksternal seperti phallus. Beauvoir mengajukan argumen ini dalam upaya untuk memahami bagaimana konstruksi sosial dan budaya mempengaruhi eksistensi dan pengalaman manusia dari perspektif gender.
Mitos-Mitos
Simone de Beauvoir mengartikan mitos sebagai suatu bentuk objektivitas palsu yang berkaitan dengan yang transenden atau yang melebihi kenyataan. Menurutnya, mitos ini seringkali berlaku dalam hal penilaian terhadap perempuan dan nilai-nilai yang dikaitkan dengannya, seperti kecantikan dan kelembutan. Ironisnya, nilai-nilai ini sebenarnya menjadi jebakan bagi perempuan dan membatasi ekspresi mereka secara bebas. Masyarakat sering kali memiliki pandangan stereotip tentang perempuan yang didasarkan pada mitos-mitos ini, dan laki-laki bergantung pada penilaian yang terburu-buru dan klise.
Contoh lainnya adalah konsep ideal tentang perempuan. Laki-laki seringkali menggantikan pemahaman yang sebenarnya dengan mitos, sehingga penilaian mereka dianggap benar. Dengan demikian, kumpulan idealitas perempuan digantikan oleh penilaian yang dikendalikan oleh kehendak laki-laki. Mitos-mitos ini lahir dari spontanitas laki-laki dalam menghadapi dunia, dan subjektivitas mereka dinyatakan sebagai bentuk pseudo-objektivitas melalui mitos tersebut.
Secara keseluruhan, Beauvoir berpendapat bahwa mitos-mitos ini digunakan untuk membenarkan dominasi laki-laki dan pembatasan yang diterapkan terhadap perempuan. Mereka menciptakan kesan bahwa penilaian dan pandangan yang ada adalah objektif dan tidak terbantahkan, padahal sebenarnya mereka didasarkan pada keyakinan yang dipaksakan oleh laki-laki. Beauvoir berusaha untuk membongkar mitos-mitos ini dan mengajak kita untuk melihat melampaui mereka, serta mengakui kebebasan dan ekspresi yang sebenarnya bagi perempuan.
Tuhan
Menurut Simone de Beauvoir, pseudo-objektivitas didukung oleh keberadaan Sosok Yang Lain, yang sering kali diartikan sebagai tuhan atau dewa-dewa. Sosok Yang Lain ini membantu laki-laki untuk melegitimasi mitos dan menjadikannya nilai-nilai yang dianggap ilahi, yang datang dari kekuatan di luar manusia. Sosok Yang Lain ini digunakan sebagai kedok untuk berbagai mitos yang harus dipatuhi oleh manusia, dan dalam beberapa kasus, mitos-mitos ini menempatkan perempuan pada posisi terendah. Sosok Yang Lain ini membatasi kebebasan perempuan dan bahkan laki-laki yang ingin menggunakan akal rasional mereka untuk memahami satu sama lain.
Beauvoir menunjukkan bahwa kehadiran Sosok Yang Lain mengakibatkan perempuan menjadi sosok yang dianggap berbeda, menjadi "elemen malapetaka" yang disengaja oleh tuhan dalam konstruksi yang besar. Dalam menentang pandangan sekularisme Dostoevsky yang menyatakan "Jika Tuhan mati, maka semuanya diizinkan," Beauvoir berpendapat bahwa tanpa adanya tuhan untuk mengampuni dosa-dosa manusia, manusia akan semakin terjerumus pada tindakan semena-mena.
Menurut Beauvoir, manusia memiliki kemampuan untuk berkehendak dan berperilaku baik atau buruk berdasarkan panggilan alaminya. Ketika manusia berperilaku buruk dan ingin kembali menjadi baik, manusia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan sikapnya. Beauvoir melihat bahwa kehadiran Tuhan membuat manusia menjadi lengah dan terlena dengan pengampunan-Nya. Hal ini mengakibatkan manusia tidak bertanggung jawab atas pilihan, perilaku, dan batasan yang mereka kenali dan buat sendiri.
Bagi Beauvoir, Tuhan tidak dapat dibuktikan terutama melalui pengalaman. Pembuktian tentang Tuhan berhubungan dengan metafisika dan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Jika manusia terus berusaha untuk merumuskan Tuhan dan mencoba untuk mencapainya, maka pengertian tentang Tuhan akan semakin terbatas oleh keinginan dan kemampuan manusia. Selain itu, manusia akan terfokus pada hal yang sangat luas, seperti tersesat di ruang angkasa yang tak terbatas, sehingga melupakan kehidupan mereka yang ada bersama entitas-entitas lainnya.
Dalam pemikiran Beauvoir, esensialis mengatakan bahwa manusia memerlukan makna dan pencipta untuk menjelaskan keberadaannya. Sementara itu, eksistensialis menekankan bahwa manusia ada secara mandiri dan otonom, sehingga memiliki kebebasan atau kemauan bebas. Beauvoir setuju dengan Sartre bahwa manusia hidup dalam kendali diri mereka sendiri. Namun, Beauvoir menegaskan bahwa kehidupan manusia tidak hanya bergantung pada diri sendiri, tetapi juga bergantung pada hubungan dengan orang lain, dan hubungan-hubungan ini perlu dijelaskan dan dipahami.
Feminisme
Dalam bukunya yang berjudul "Fakta dan Mitos", Beauvoir menjelaskan tentang perubahan posisi perempuan sepanjang sejarah. Pada masa manusia purba, perempuan memiliki peran penting sebagai pengurus keluarga dan anak-anak. Mereka memiliki kuasa dalam koloni dan membangun pemukiman tetap. Sementara itu, kaum laki-laki purba lebih banyak berburu dan berperang. Ketika mereka kembali ke koloni, mereka menjadi bawahan di bawah penguasa perempuan. Namun, seiring waktu, kaum laki-laki menginginkan kekuasaan sendiri dan mulai menggantikan sistem matrilineal dengan sistem patrilineal.
Beauvoir juga menjelaskan bahwa laki-laki memiliki dorongan alami untuk menghubungkan diri dengan dunia secara konkret. Mereka ingin mengetahui dan menjelajah dunia.
Menurut Beauvoir, feminisme baru muncul pada abad ke-19 karena saat itu manusia berjuang untuk keadilan dan persamaan hak. Beauvoir menyadari bahwa perempuan sulit menyatukan kebebasan individu dengan takdir sebagai perempuan. Banyak perempuan pada masa itu menyerah pada kondisi yang menindas. Beauvoir menggunakan konsep strukturalisme Levi Strauss untuk menjelaskan bagaimana tubuh perempuan menjadi simbol berbagai penderitaan, seperti siklus menstruasi.
Beauvoir juga mengkritik hubungan antara Tuhan dan manusia yang dijelaskan oleh Freud. Bagi Beauvoir, manusia menciptakan Tuhan sebagai pelindung mereka terhadap ketakutan terhadap alam. Manusia ingin menguasai alam, dan kelahiran Tuhan merupakan bukti usaha manusia untuk mengendalikan alam. Beauvoir menekankan bahwa perempuan memiliki hubungan khusus dengan alam, karena mereka memiliki peran dalam reproduksi dan memberikan kelembutan dan kasih sayang. Namun, perempuan sering kali dikuasai oleh laki-laki, dan ini merupakan upaya laki-laki untuk mengatasi ketakutannya terhadap alam.
Beauvoir juga mengkritik institusi pernikahan yang dapat memperkuat dominasi laki-laki. Dalam pernikahan, tanggung jawab terdefinisikan berdasarkan status, bukan akibat tindakan. Hal ini mengarah pada hierarki keluarga di mana laki-laki dianggap pemimpin yang harus dipuja dan didengar. Perempuan juga tidak memiliki representasi hukum yang mandiri.
Semua hal ini membuat Beauvoir merasa perlu untuk berjuang dan memikirkan secara mendalam untuk memecahkan masalah mendasar dalam masyarakat. Ia menjadi seorang filosof dan feminis, karena ia menyadari bahwa sebagai seorang perempuan, ia juga mengalami penindasan dalam masyarakat dan sedang mencari makna dan kebenaran.
Comments
Post a Comment