Setiap kali Takbir berkumandang di malam Lebaran, kenangan pahit selalu terlintas dalam pikiranku. Aku dan Bapak dulu pernah mengeroyok argumen dengan mendebat alm. Pakdhe Kyai Masdu'i, teman sekamar dan sebangku KH. Abdul Lathif Bajuri di PP Tebuireng. Kami saat itu mengikuti arahan Pemerintah, sementara Pakdhe sebagai Ta'mir mengikuti Ru'yatul Hilal Pesantren² Lokal sekitar Pare Kediri. Kedua belah pihak saling berpegang pada pendapatnya, dan emosi saling dijaga hingga setahun kemudian, saat Pakdhe menyerahkan tampuk Keta'miran kepada Bapak kembali.
Namun, setelah itu, rasa menyesal tak henti menghampiri diriku. Aku menyesal karena membelani Bapak yang tidak pernah nyantri dalam mendebat Pakdhe Masdu'i, seorang alumnus Tebuireng yang kebetulan penyampaian khotbah Jum'atnya berbahasa Indonesia khas Modernis Muhammadiyah. Walaupun kami sudah meminta maaf di Hari Raya, kehilangan Pakdhe Kyai Masdu'i karena sakit stroke beberapa tahun kemudian membuat kami merasa sangat menyesal dan kehilangan.
Mengenang kembali perdebatan tersebut, aku merasa sangat menyesal dan merenungkan hikmah dari pengalaman ini. Di masa lalu, kami saling berpegang teguh pada keyakinan masing-masing tanpa mau mendengar pendapat orang lain. Namun, sekarang aku menyadari bahwa toleransi dan saling menghargai pendapat orang lain sangatlah penting, terutama dalam agama Islam. Bapak selalu mengajarkan bahwa di dalam Islam ada adab-adab yang harus dipatuhi, salah satunya adalah adab berdebat.
Sekarang, aku berharap agar Allah SWT memberikan ampunan kepada Pakdhe Kyai Masdu'i atas segala kesalahan dan kekhilafannya. Semoga beliau diterima di sisi-Nya dengan penuh rahmat dan kasih sayang. Aku juga berdoa agar kita semua dapat belajar dari pengalaman ini dan menjadikan toleransi dan saling menghargai pendapat orang lain sebagai prinsip hidup kita. Semoga kita selalu terhindar dari rasa menyesal di kemudian hari. Aamiin.
Comments
Post a Comment