Ketidakbebasan dan ketiadaan toleransi yang ada pada wajah politik hari ini mungkin membuat kita merasa geram. Pergeseran demokrasi ke arah liberal dapat menjadi lahan subur bagi terciptanya kondisi ketidaksetaraan dan membawanya pada kondisi irasional dalam demokrasi dengan dalih politik konsensus (kesepakatan).
Demokrasi seharusnya memberikan kesetaraan, kebebasan berorganisasi, berpendapat dan berekspresi yang inheren dalam demokrasi. Namun, hari ini demokrasi terlihat sebagai suatu omong kosong belaka. Pada ranah pergutuan tinggi misalnya, PEMIRA (Pemilihan Umum Raya) seharusnya menjadi forum demokrasi tertinggi, namun hal ini biasanya dicederai oleh pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan bahkan tidak kompeten, KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang tidak adil dalam menjalankan tugas, serta tidak adanya toleransi terhadap pluralisme. Semua fenomena buruk ini menunjukkan kondisi irasional dalam demokrasi yang disandarkan pada dalih politik konsensus.
Demokrasi yang sebenarnya seharusnya menghadirkan kebebasan dan kesetaraan, namun paradoksnya, kebobrokan dibangun dengan dalih demokrasi itu sendiri. Demokrasi radikal, sebuah konsep yang disodorkan oleh Chantal Mouffe, mampu menjawab sekaligus melampaui paradoks demokrasi tersebut.
Demokrasi radikal adalah upaya meradikalisasi demokrasi dengan menuntut adanya konflik, perselisihan yang terus-menerus serta perdebatan ideologi dan gagasan untuk menangkap wacana. Dalam arti tertentu, demokrasi radikal menjadi wilayah perjuangan (kontestasi) hegemonik. Dalam ranah demokrasi radikal, segala bentuk gagasan dan ideologi saling bersaing menggunakan artikulasi politiknya masing-masing dimana ide diproduksi secara terus-menerus.
Partisipasi adalah salah satu hal terpenting dalam demokrasi radikal. Dengan kata lain, demokrasi radikal membutuhkan “kebisingan” dan “keriuhan” untuk mengangkat tabir stabilitas demi terwujudnya politik emansipatoris. Mouffe menyatakan bahwa tidak ada konsensus dalam demokrasi, yang ada hanyalah praktik hegemonik yang bersifat rentan dan terbuka untuk dilawan melalui praktik kontra-hegemonik.
Kesepakatan atau keputusan mayoritas di parlemen dan pemilihan umum merupakan hasil dari voting. Namun, di dalam demokrasi radikal, kesepakatan yang dicapai tidaklah statis, namun dinamis dan dapat diperjuangkan melalui pertentangan dan persaingan ideologi. Dengan demikian, demokrasi radikal dapat menjadi solusi atas kebobrokan demokrasi yang seringkali terjadi di Indonesia.
Dalam demokrasi radikal, terdapat kontestasi wacana dan konflik untuk merebut hegemoni di ruang publik. Namun, apabila kontestasi tersebut menimbulkan luka di tengah masyarakat, seperti kekerasan dan bahkan perang, perlu adanya pembedaan antara relasi antagonisme dan agonisme serta melakukan transformasi dari relasi antagonisme ke relasi agonisme.
Relasi antagonisme dalam konteks politik memicu relasi antara kita sebagai teman dan mereka sebagai musuh dalam politik demokrasi. Relasi ini akan menimbulkan ketidaksepakatan dan konsekuensi dikotomi antara teman dan musuh yang tidak berbagi ruang demokrasi.
Dalam konteks ini, musuh dimaknai sebagai entitas yang harus dihancurkan dan ditiadakan baik secara ideologi maupun eksistensinya di ruang publik demokrasi. Relasi antagonis antara teman dan musuh harus ditanggulangi supaya konflik dan ketidaksepakatan tidak merusak.
Oleh karena itu, demokrasi radikal harus melakukan transformasi dari relasi antagonisme ke relasi agonisme. Relasi agonisme tidak berpretensi untuk menghapuskan dimensi konflik pada satu sisi dan tidak terjebak pada negosiasi atau kesepakatan melalui deliberasi. Dengan kata lain, relasi agonisme membuat konflik tidak merusak asosiasi politik dalam demokrasi.
Dari relasi agonisme, relasi antara kita sebagai teman dan mereka sebagai musuh menjadi relasi adversarial yang menganggap mereka sebagai lawan, yaitu agonistic friend or adversary relation. Oposisi yang memiliki kesamaan posisi dalam demokrasi tetapi terdapat perbedaan wacana, kepentingan, dan gagasan yang berbeda dan harus ditolak.
Demokrasi radikal menyiratkan dimensi sosialis dalam menegakkan perjuangan demokratik, karena itu perlu mengakhiri relasi produksi kapitalis, yang merupakan akar dari banyaknya relasi subordinasi. Kapitalisme dalam ranah politik bisa diartikan menjadikan manusia atau setiap individu sebagai suatu komoditas, yang dapat dipetik dari setiap individu tersebut adalah hak suara yang dapat digunakan untuk melegitimasikan kekuasaan.
Demokrasi hanya sebatas pada pemilihan umum saja, terlepas dari hal tersebut, demokrasi radikal memiliki aspirasi, tujuan, dan cita-cita untuk emansipasi yang menjadi hal pokok dalam demokrasi radikal.
Comments
Post a Comment